[ALA BLITAR] Ngajatne Budaya Kearifan Lokal Yang Patut Dilestarikan

“Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Nabi Yusuf AS, yen wadon kadya Dewi Mariam kabeh saka kersaning Gusti Allah”.
Itulah kata yang biasa digunakan dalam menghajatkan bayi yang akan lahir atau biasa digunakan sebagai kata pembuka dalam doa acara 7 bulanan. Kata ini yang sering saya dengar dari sesepuh yang biasa memimpin doa di wilayah saya desa Sananwetan Blitar.

Mengajatkan atau “ngajatne” ini sebenarnya sudah ada sejak nenek moyang kita, tapi sangat awam untuk para pemuda atau manusia di jaman modern ini. Karena kultur budaya asli yang sudah mulai luntur, bahkan kata diatas sudah dirubah dari aslinya yang berbunyi
“Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih kabeh saka kersaning Gusti Allah” 
Kata Raden Komajaya sudah diganti dengan Nabi Yusuf AS dan Dewi Komaratih diganti dengan Dewi Mariam menurut sesepuh desa ini dikarenakan mayoritas penduduk muslim jadi harus menyesuaikan dengan sejarah agama islam dan panutan dalam agama islam. Dan alasan lain dari berubahnya kata – kata Ngajatne tersebut yaitu agar budaya tetap berjalan dan menghindari budaya non muslim yang dianggap sebagai musrik.

Dengan demikian pengertian ngajatne ialah menyampaikan maksud dari sebuah acara yang diselenggarakan baik diucapkan dengan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Ngajatne juga bisa diartikan awal pembuka acara dengan diselipkan doa yang dimaksudkan untuk tujuan deselnggarakan acara tersebut. Biasanya mengajatkan juga terjadi di setiap acara tumpengan dan bersih desa sesuai dengan kebutuhan acara tersebut.

Jika ditinjau dari segi Ontology “Ngajatne” sudah ada sejak jaman dulu yang sekarang mulai luntur dengan budaya modern, banyak orang beranggapan tata cara ngajatne berhubungan dengan kebudayaan kuno yang sudah tidak layak untuk digunakan di era modern. Namun Masih banyak juga masyarakat yang masih menggunakan istilah ini dengan merubah tata cara dalam upacara adatnya. Pada dasarnya Mangajatkan itu adalah memanjatkan doa kepada sang pencipta dengan maksud untuk memulai acara agar apa yang dicita-citakan bisa berjalan lancer dan terkabul.

Jika ditinjau dari segi Aksiologi “Ngajatne” masih banyak digunakan namun diubah sedemikian rup sesuai dengan kebutuhan dan budaya wilayah masing-masing. Intinya ialah mengajatkan atas sesuatu yang dikerjakan pada setiap acara syukuran ataupun acara-acara adat lainya. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya budaya kearifan local itu memang mendidik kita untuk selalu berdoa dan bersyukur kepada Sang Pencipta sebelum memulai acara-acara apapun agar kita tida lupa dengan berkah dan nikmat yang telah diberikan-Nya.

Tinjauan menurut epistemology kata ngajatne ialah mendoakan setiap sesuatu dengan harapan yang terbaik. Namun masyarakat sudah mulai enggan menggunakan kata ngajatkan karena beranggapan ini adalah budaya Hindu, tapi pada setiap acara-acara tanpa disadari orang pasti menggunakan istilah ini dengan diubah menjadi doa pembuka. Mengajatkan hanya digunakan dalam ritual-ritual besar desa seperti nyadran ataupun tumpengan desa, tapi sebenarnya setiap acara apapun pasti kita akan mengajatkan atas segala kegiatan yang kita laksanakn dengan tujuan memperoleh hasil terbaik.

Intinya menghajatkan itu adalah cara kita berdoa dan momohon kepada sang pencipta atas rasa syukur kita karena telah diberikan berkah dan rejeki yang telah diberikan, mengucapkan maksud dan tujuan atas segala kegiatan uyang dilakukan agar memperoleh hasil yang sesuai direncanakan. Budaya ini seharusnya dilestarian agar manusia lebih bisa bersyukur atas segala rejeki. Memohon kepada sang pencipta adalah wujud bahwa manusia itu butuh dan tidak memiliki kekuatan apa-apa tanpa Sang pencipta. Cintai budaya kita dan junjung tinggi kearifan local, jangan tinggalkan budaya dengan dali KUNO.


Terima Kasih sudah berkunjung. 


Umaruddin Zuhri
11105540027
Universitas Islam Balitar

No comments